Aku Belum Mengetahui Arti “Diriku Seorang Hamba!”

[Segera Bangkit]
Semua sepakat bahwa moral bangsa adalah modal pembangunan. Jikamoral bangsa telah rusak, maka kehancuran di ambang pintu. Yangbermoral dari mereka adalah yang tidak melupakan nilai-nilai kehambaanyang senantiasa memberikan nuansa-nuansa kehidupan. Di dalam kehambaantersimpan aset kehidupan yang luar biasa, yang jika diaplikasikansecara benar dan tepat, ia mampu dengan sendirinya mendobraknilai-nilai negatif, seperti: kriminalitas, ketimpangan sosial dandekadensi moral.

Kita semua hamba, tetapi boleh jadi ada diantara kita yang belum memahami makna kehambaan itu sendiri. Olehnyaitu, mari bersama-sama menelaah fitrah ini sebagaimana berikut!


Kehambaanyang hidup kehambaan yang senantiasa mendorong manusia untuk beribadahdan ikhlas beramal. Yang punya kehambaan seperti ini adalah mereka yangmeyakini bahwa diri mereka tidak tercipta kecuali untuk beribadah,mengulurkan tangan kepada mereka yang dililit masalah-masalah sosial,mengedepankan kepentingan umat dari kepentingan pribadi dan kelompok,dan mengetuk pintu-pintu kebaikan demi mewujudkan kesejahteraanlingkungan dan umat.

Syekh Ibn Asyûr berkata:
( إٍيَّاكَ نَعْبُدُ )  menyimpulkan makna-makna agama dan syariat, dan ( إِيَّاكَ نّسْتَعِيْنُ ) menyimpulkanmakna keikhlasan terhadap Allah dalam setiap pekerjaan. Ini telahditegaskan sebelumnya oleh Syekh Izzuddin bin Abdi as-Salâm di salahsatu karyanya (Hillu ar-Rumûz wa Mafâtîhul Kunûz), beliau berkata:“titian ke Allah SWT punya dua bentuk: amalan lahiriah (fisik) danamalan batiniah (hati). Titian lahiriah itu adalah syariat danbatiniahnya adalah hakikat, dan yang dimaksud dengan syariat danhakikat adalah menegakkan kehambaan dengan benar. Syariat dan Hakikattersimpul dalam  ( إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ  ). Olehnya itu (إٍيَّاكَ نَعْبُدُ   ) membiaskan syariat dan ( إِيَّاكَ نّسْتَعِيْنُ ) menyinarkan hakikat.””[[1]]

Kehambaanyang hidup kehambaan yang memahami bahwa setiap pekerjaan yang sedangditekuni punya potensi ibadah. Akan tetapi, tidak semua ibadah itumenampakkan kehambaan. Di sana ada ibadah, meski hidup, tetapi padahakikatnya ia mati tidak memberikan apa-apa kecuali kesengsaraanbelaka, seperti: menyembah selain dari Allah, dan menyekutukan-Nyadengan sembahan lain.

Di lain sisi, ada amal yang cukupmenggiurkan, tetapi pada hakikatnya ia mati tidak membuahkan hasilkecuali sementara waktu saja, kenikmatannya terbatas oleh waktu dantempat, cepat pudar dan tidak dapat dipetik di akhirat, seperti:merampas hak orang lain dengan paksa, tipuan, mencuri, menyogok danmelakukan segala tindak kriminal.

Kehambaan seperti ini meskihidup, tapi tidak dapat memberi sinar. Meskipun dia memberikan sinar,tapi yang dipancarkan semu, seperti fatamorgana di siang hari.

Kehambaanyang hidup lestari, kehambaan yang tidak membedakan satu bentuk amalbaik dari yang lain, kehambaan yang senantiasa menganjurkan seseoranguntuk beramal, meski amal itu sendiri kelihatan kecil. Olehnya itu,nilai amal tidak terlihat dari kecil dan besarnya, tetapi sejauh manaamal itu ditekuni dengan penuh dedikasi tinggi dan keikhlasan.

Seorangpedagang yang tidak jemu menekuni profesinya, mensyukuri setiapkeuntungan meski kadang tidak memenuhi target pencapaian, danmengumpulkan dengan penuh kesabaran laba penjualan dari hari ke hari,pedagang seperti ini telah menghidupkan beberapa nilai kehambaan dalamsatu profesi. Tentunya, yang terlihat di sisi Allah dari bentuk-bentukperdagangan adalah perdagangan semacam ini. Kiaskanlah kepada contohini cara membumikan nilai-nilai kehambaan di pelbagai profesi.

Imam al-Qusyairi berkata:
“Hakikat kehambaan adalah menegakkan cinta amal dan menjaga kelestariannya.”[[2]]

Kehambaanyang membumi kehambaan yang tahu batas. Hamba yang tahu bataskemampuannya tidak mengklaim hasil usaha bersama sebagai hasil usahasendiri, tidak menunjukkan kepintaran di tengah orang-orang pintar,tidak mengelabui orang awam hanya karena mereka sederhana dan lugu,tidak menciptakan pencitraan diri di balik kebusukan moral dan jatidiri. Agama itu punya batas, jangan pernah ditambah dan dikurangi!

Imam al-Qusyairi kembali berkata:
“Hakikatkehambaan dengan mengetahui batas dan tidak melampauinya, tidakmenambah dan tidak pula menguranginya. Barang siapa yang tidakmelampaui batas dalam menegakkan hukum-hukum Allah, maka dengansendirinya Allah akan menepati janji-Nya terhadapnya.”[[3]]

Kehambaanyang menyinarkan makna-makna kemanusiaan adalah kehambaan yang tahurendah diri, tidak sombong dan angkuh. Hamba-hamba semacam inisenantiasa tahu menempatkan diri, tidak malu berteman dan bersahabatdengan orang-orang fakir; jalan dan makan bersama dengan mereka.Pribadi seperti ini adalah pribadi yang tidak suka pujian dan sanjunganyang berlebihan, sosok yang cinta kesederhanaan dari kebersahajaan yangdibangun atas kecongkakan dan kesombongan.

Ini telah dicontohkan dalam sabda Rasul Saw berikut ini:

(آكُلُ كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ، وأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ).

“saya makan seperti hamba lain sedang makan, dan saya duduk seperti duduknya hamba lain.”[[4]]

Di hadits lain, Rasul Saw diberitakan makan berjamaah dengan Ahlu as-Suffah. [[5]]
Dari Abu Dzar RA:

(كُنْتُمِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ، فَكُنَّا إِذَا أَمْسَيْنَا حَضَرْنَا بَابَرَسُولِ اللهِ e فَيَأْمُرُ كُلَّ رَجُلٍ فَيَنْصَرِفُ بِرَجُلٍ،فَيَبْقَى مَنْ بَقِيَ مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ عَشَرَة أَوْ أَكْثَرَ،أَوْ أَقَلَّ فّيُؤْتِىَ النَّبِيُّ e بِعَشَائِهِ فَنَتَعَشَّى مَعَهُ،فَإِذَا فَرَغْنَا قَالَ e: نَامُوْا فيِ الْمَسْجِدِ!)

“Sayatermasuk Ahlu as-Suffah, kami di saat menjelang sore mendatangi RasulSaw, beliau pun memerintahkan setiap orang dari sahabat mengajak satuorang dari kami ke rumahnya, dan jika yang tersisa dari kami sepuluhorang, lebih atau kurang, maka Rasul Saw pun datang membawa jamuanmalamnya dan kami pun diajak makan bersama dengannya. Setelah kamimakan malam beliau berkata: “tidurlah di masjid.””[[6]]

JikaRasul Saw seperti ini, kenapa di sana masih ada saja yang merasa hinajika menginjakkan kaki di gubuk tua fakir-miskin, tersenyum sinismelirik para gelandangan di pinggir jalan, dan memandang hina parapengamen? Bukankah mereka saudara kita sendiri yang butuh uluran tangankemanusiaan? Pudarnya nilai-nilai kehambaan dalam diri masyarakat sebabhilangnya kepekaan dan kepedulian sosial terhadap sesama.

Kelompok seperti ini mendapatkan teguran keras dari ayat Al-Qur’an di bawah ini:

orang-orangyang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepadabudak-budak yang mereka miliki, padahal setiap dari mereka punya hakyang sama untuk (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkarinikmat Allah. (QS. An-Nahl [16]: 71)

Kehambaanyang menyadari hakikat-hakikat penciptaan setiap entitas kehidupanadalah kehambaan yang melihat setiap jenis makhluk punya hakikat yangsama, memberikan layanan jasa kepada mereka sama dengan apa yang merekatelah lakukan antar sesama mereka sendiri, seperti: tempat tinggal,minuman dan makanan. Hamba yang melihat dirinya tidak lain kecualihanyalah salah satu makhluk dari pelbagai makhluk Allah akanmemperlakukan mereka dengan penuh kemanusiaan, tidak membuat merekalangkah dengan segala bentuk penyiksaan.

Jika dari mereka adayang bertanya: “kenapa saya wajib berlaku baik terhadap makhluk-makhlukitu? Bukankah mereka tercipta untuk dipergunakan manusia sesuai dengankeinginan mereka?”

Kepada Anda Al-Qur’an menjawab:

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ

Langityang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.Dan tidak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (QS.al-Isra’ [17]: 44)

Hematnya,selagi hakikat penciptaan kita dengan mereka sama, tercipta untukmelantunkan pujian terhadap-Nya, maka sepatutnya kita memperlakukanmereka dengan wajar.

Ini telah dicontohkan oleh Abdul Muttalib, kakek Nabi Muhammad Saw. Beliau masyhur di kalangan bangsa Arab dengan sebutan al-Fayyâdh (sangat pemurah) dan Mut’im Taer as-Samâ’(penyuguh makanan terhadap burung-burung lepas yang beterbangan diangkasa). Beliau dikenal dengan gelar-gelar itu karena murah hati dansenantiasa menyuguhkan makanan kepada burung dan binatang buas dipuncak gunung. [[7]]

Bukanhanya itu, hamba yang bijak hamba yang dituntun mengungkap makna-maknakehidupan yang dicontohkan oleh setiap jenis makhluk. Olehnya itu,tidak berlebihan jika Ustadz Said Nursi menyatakan bahwa beliau telahberguru dari ratusan guru (maksudnya ia telah memetik makna-maknakehidupan dan ketuhanan dari hewan, tumbuhan dan entitas kehidupan laindi muka bumi ini. Beliau mencontohkannya dengan kehidupan lalat yangmenjadi cleaning service gratis untuk manusia dengan memakankuman-kuman penyakit yang terdapat di tong-tong sampah pada musimpanas. Tentunya, itu melukiskan kesempurnaan penciptaan Allah SWT). [[8]]

Kehambaanyang memberi terang kehambaan yang senantiasa membisikkan kelemahan dankefakiran di hadapan Allah SWT. Hamba yang senantiasa berdoa memintataufiq-Nya dalam meninggalkan kemaksiatan dan mengerjakan ketaatan.

Syekh Ibn al-Atsîr berkata:
“Hakikatkehambaan adalah menampakkan kelemahan dan kefakiran di hadapan AllahSWT dengan meminta pertolongan dari-Nya atas segala usaha yang telahdan sedang dilakukan.”[[9]]

Pendekkata, kehambaan yang mengisi rongga-rongga kehidupan denganlantunan-lantunan ilmu-ilmu ilahi adalah kehambaan yang mendorongseseorang untuk taat beribadah, bersyukur dan memuji kebesaran-Nya,mengetahui batas-batas hukum, menegakkan cinta amal, menghargai sesama,rendah diri yang jauh dari kesombongan, merasa lemah dan butuhperlindungan dan tuntunan-Nya, serta memahami hakikat penciptaan setiapentitas kehidupan dan memperlakukan mereka dengan wajar.

Di sanamasih banyak sentuhan-sentuhan makna yang terselubung di balikkehambaan. Kepada pemerhati tema-tema keislaman tulisan ini mengajakAnda untuk menyuarakan sepatah kata berikut ini:

“bangunmoral bangsa dengan membentuk kepribadian, perbaiki jati diri denganmenghidupkan nilai-nilai kehambaan! Bangsa kita tidak terpuruk, duniaIslam tidak bersatu dan tidak mampu menyaingi kemajuan yang telahdicapai dunia Barat, kecuali nilai-nilai kehambaan umat telah redup dihati generasi muda Islam. Hidupkan dan kobarkan kembali! Tidak ada yangdapat membumikannya kecuali Anda sendiri. Olehnya itu, sebelum Andamelakukan sesuatu, tanyalah diri Anda dengan pertanyaan ini: “apakahpekerjaan ini sesuai dengan nilai-nilai kehambaanku?”

Dalamdiri Rasul Saw terdapat keteladanan bagi mereka yang ingin tahu sejauhmana beliau memaknai setiap detik dari kehidupan ini dengan makna-maknakehambaan. Dia adalah hamba sempurna yang mengumpulkan semuasifat-sifat baik yang ada dalam diri setiap hamba. Mari bersama-samameneladani kehambaan beliau!”


Catatan Kaki:

[1] at-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol, 1, hlm. 134
[2] Tafsir Imam al-Qusyairi, vol. 14, hlm. 16
[3] Ibid, vol. 7, hlm. 436

[4] Haditsini diriwayatkan Ibn Saad dengan sanad yang baik, dan diriwayatkan jugaAbu Ya’lâ dari Ãisyah. Di periwayatan Mursal al-Baihaqî dari Yahya binAbi Katsîr hadits ini datang dengan tambahan lafadz (sesungguhnya sayahanyalah hamba: (فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ. [lihat: Imam az-Zaelaiy, Kasyful Khafâ, hadits, no: 15, hlm. 18].

[5] merekaadalah sahabat-sahabat nabi dari kaum Muhajirin yang terlambat hijrahke Madinah. Karena mereka tidak datang ke Madinah saat Rasul Sawmempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, maka mereka pun tidakmempunyai tempat tinggal dan harta. Olehnya itu, Rasul Saw membanguntempat khusus untuk mereka di belakang mesjidnya (masjid Madinahsekarang) yang dikenal dengan Suffah. [lihat: tim penyusun dari guru-guru besar Jurusan Dakwah, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Wasâil Tablîgh ad-Da'wah al-Islâmiyah wa Asâlîbiha, hlm. 29].

[6] Lihat: Syekh Abu Naîm Ahmad bin Abdillah, Hilyah al-Auliyâ’ wa Tabaqât al-Ashfiyaâ’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet. 1, 1409 H/1988 M, vol. 1, hlm. 352

[7] Lihat: Istîtah Abdul Hamîd Abdul Hamîd, Dirâsât fi as-Sîrah an-Nabawiyyah, vol. 1, hlm. 58
[8] Lihat: Bediuzzaman Said Nursi, Masâil Daqîqah fil Ushûl wal Aqîdah, hlm. 5

[9] Imam Ibn al-Atsîr al-Mubarâk bin Muhammad al-Jazari, an-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wal Atsar, ditahkik oleh Thâhir Ahmad az-Zâwi dan Mahmûd Muhammad at-Thanâhi, Dar Ihya’ at-Turâts al-Arabi, vol. 1, hlm. 465

0 comments:

Posting Komentar