Mengeraskan Suara pada Dzikir Setelah Sholat

Segera Bangkit
Jika kita berada di Saudi Arabia, akan terlihat fenomena dzikir yangberbeda setelah shalat lima waktu yang jarang kita lihat di tanah air.Para jamaah sama sekali tidak melakukan dzikir berjama’ah dengandikomandoi imam sebagaimana kita lihat di sekitar kita, di tanah air.Mereka berdzikir sendiri-sendiri, namun dengan mengeraskan suara.Inilah di antara pendapat fikih Hambali yang dianut di kerajaan SaudiArabia. Namun bagaimana tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai dzikir sesudah shalat, apakah benar dengan mengeraskan suara?
Dalil yang Jadi Rujukan
DariIbnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata padaku bahwa Abu Ma’bad–bekas budak Ibnu ‘Abbas- mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

أَنَّرَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَالْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - .وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَاسَمِعْتُهُ

Mengeraskan suara pada dzikirsetelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telahselesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.” (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)

Dalam riwayat lainnya disebutkan,

كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ

Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)

Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat, “Dianjurkan mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat.” Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Hazm. Beliau berkata,
ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن

Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.” (Al Muhalla, 4: 260)
Demikian juga pendapat Ath Thobari, beliau berkata,

فيه الإبانه عن صحة ما كان يفعله الأمراء من التكبير عقب الصلاة

Hadits ini sebagai isyarat benarnya perbuatan para imam yang bertakbir setelah shalat.” (Rujuk Fathul Bari, 2: 325)

Pendapat Jumhur
Mayoritas ulama (baca: jumhur) menyelisihi pendapat di atas. Di antara alasannya disinggung oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

Setelahmenyebutkan perkataan Ath Thobari, Ibnu Hajar Al Asqolani menyebutkanperkataan Ibnu Battol yang mengatakan, “Hal ini tidak pernah dilakukanoleh ulama salaf selain apa yang diceritakan dari Ibnu Habib dalam Al Wadhihah, yaitu mereka senang bertakbir saat peperangan setelah shalat Shubuh, ‘Isya’ dengan tiga kali takbir.Beliau berkata bahwa ini adalah perbuatan yang dilakukan di masa silam.Ibnu Battol dalam Al ‘Utaibah menyebutkan bahwa Imam Malik berkata,“Amalan tersebut muhdats (amalan bid’ah, direka-reka).” (Fathul Bari, 2: 325-326)

Pendapat jumhur inilah yang lebih tepat.

Pijakan Jumhur
Dalam hadits Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كُنَّامَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، فَكُنَّا إِذَاأَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْأَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « يَا أَيُّهَاالنَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَأَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ،تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ »

Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704). Hal ini menunjukkan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah suka dengan suara keras saat dzikir dan do’a.

Ath Thobari rahimahullah berkata,

فِيهِكَرَاهِيَة رَفْع الصَّوْت بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْر ، وَبِهِ قَالَعَامَّة السَّلَف مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ اِنْتَهَى

“Hadits ini menunjukkan dimakruhkannyamengeraskan suara pada do’a dan dzikir. Demikianlah yang dikatakan parasalaf yaitu para sahabat dan tabi’in.” (Fathul Bari, 6: 135)[1]

Adapun anjuran mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat, tidaklah tepat. Karena yang dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiritidaklah membiasakan hal itu.  Beliau boleh jadi pernah melakukannya,namun hanya dalam rangka ta’lim atau pengajaran, bukan kebiasaan yangterus menerus. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dan pendapat mayoritasulama lainnya. Imam Syafi’i dalam Al Umm (1: 151) berkata,

وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم

“Aku menganggap bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallammenjaherkan suaranya sedikit untuk mengajari para sahabat. Karenakebanyakan riwayat yang aku tulis dan riwayat lainnya menyebutkan bahwabeliau tidak berdzikir dengan tahlil dan takbir setelah salam. Danterkadang beliau juga berdzikir dengan tata cara yang pernahdisebutkan.”

Imam Syafi’i berpendapat bahwa asal dzikir adalah dengan suara lirih (tidak dengan jaher), berdalil dengan ayat,
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا

Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya” (QS. Al Isro’: 110). Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang ayat tersebut, “Janganlah menjaherkan, yaitu mengeraskan suara. Jangan pula terlalu merendehkan sehingga engkau tidak bisa mendengarnya sendiri.” (Al Umm, 1: 150)

Imam Asy Syatibi rahimahullah berkata, “Do’a jama’i atau berjama’ah (dengan dikomandai dan satu suara) yang dilakukan terus menerus tidak pernah dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana pula tidak ada perkataan atau persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan amalan ini. 

Dalam riwayat Bukhari dari hadits Ummu Salamah disebutkan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya diam sesaat setelah salam.” Ibnu Syihab berkata, “Beliau diam sampai para wanita keluar. Demikian anggapan kami.” Dalam riwayat Muslim disebutkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Beliau tidaklah duduk selain sekadar membaca, “Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaroka ya dzal jalaali wal ikrom.” (Al I’tishom, 1: 351)

Namun perlu diperhatikan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang telah kami sebutkan bukanlahdalil dzikir dengan satu suara (dzikir jama’ah). Dalil tersebut tidakmenunjukkan bahwa dzikir sesudah shalat harus dikomandoi oleh seorangimam sebagaimana kita saksikan sendiri di beberapa masjid di sekitarkita. Yang tepat adalah dzikir dilakukan secara individu, tanpadikomandoi dan tidak dengan suara keras.

Faedah dari Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan,“Yang disunnahkan dalam setiap do’a adalah dengan melirihkan suarakecuali jika ada sebab yang memerintahkan untuk menjaherkan. Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdoalahkepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. SesungguhnyaAllah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)

Allah menceritakan tentang Zakariya,
إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا

Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)

Demikian pula yang diperintahkan dalam dzikir. Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ

Dansebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasatakut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.” (QS. Al A’raf: 205). Dalam shahihain disebutkan bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَاالنَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَأَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَإِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا إنَّالَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ

Wahaisekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’apada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian seru (yaituAllah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itulebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari lehertunggangannya.” Inilah yang disebutkan oleh para ulama ketikadalam hal shalat dan do’a, di mana mereka sepakat akan hal ini. (Majmu’Al Fatawa, 22: 468-469)

Faedah Dzikir dengan Lirih
Berikut di antara faedah dzikir dan do’a lebih baik dengan suara lirih:

Pertama:Menunjukkan keimanan yang baik, karena orang yang berdzikir denganmelirihkan suara berarti mengimani Allah akan selalu mendengar seruanhamba-Nya meskipun lirih.

Kedua: Inilah adab yang mulia di hadapan Al Malik, Sang Raja dari segala raja. Ketika seorang hamba bersimpu di hadapan Sang Raja, tentu saja ia tidak mengeraskan suara.

Ketiga:Lebih menunjukkan ketundukkan dan kekhusyu’an yang merupakan ruh daninti do’a. Orang yang meminta tentu saja akan merendahkan diri, akanmenundukkan hatinya pada yang diminta. Hal ini sulit muncul dari orangyang mengeraskan do’anya.

Keempat: Lebih meraih keikhlasan. [2]

Penutup
Setelahmengetahui hal ini, kita perlu menghargai sebagian orang yangmengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat. Mereka jelas memilikiacuan, tetapi kurang tepat karena tidak merujuk lagi pada riwayatlainnya. Yang tidak tepat bahkan dinilai bid’ah adalah berdo’a dan berdzikir berjama’ah dengan satu suara. Ini jelas tidak pernah diajarkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat sekali lagi perkataan Asy Syatibi di atas.

عَنْ عَائِشَةَ ( وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا ) أُنْزِلَتْ فِى الدُّعَاءِ .

Dari ‘Aisyah, mengenai firman Allah, “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya”. Ayat ini turun berkenaan dengan masalah do’a. (HR. Bukhari no. 6327)

Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ Sabic Lab, Riyadh KSA, 25 Dzulhijjah 1432 H

0 comments:

Posting Komentar