MA’HAD AL-ZAYTUN Meng-Indonesia-kan Anak Bangsa

Segera Bangkit
Bagaimanakah bangsa ini ke depan? Mungkinkah Indonesia akan menjadi Uni Soviet kedua? Atau justru terus terjadi perang etnis seperti tragedi yang menimpa di negara-negara Balkan? Pertanyaan ‘seram’ yang kerap mencuat di sejumlah forum itu agaknya akan terjawab jika Anda sempat berkunjung ke pesantren megah Ma’had Al-Zaytun di Indramayu, Jawa Barat.

Tragedi Sampit masih segar dalam ingatan kita. Begitupun tragedi Maluku, Poso dan sejumlah daerah lain yang sempat membara. Semua itu meninggalkan duka, kepedihan, bahkan menjadi mimpi buruk bagi hampir setiap orang. Sebab, tak seorang pun dapat mengira bahwa negeri yang aman, damai, dan penuh gegap gempita dalam membangun ini sekonyong-konyong terjadi pertumpahan darah di sejumlah daerah. Ironisnya, musibah beruntun yang menimpa negeri tercinta ini justru tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Belum lagi masalah disintegrasi bangsa yang nyaris merebak di sejumlah daerah. Aceh, misalnya, salah satu provinsi yang kerap bergolak. Daerah yang dijuluki “Serambi Mekah” ini seolah tiada hari tanpa tragedi. Dari teror, penembakan bahkan pengeboman. Provinsi terletak di ujung barat Indonesia itu kini justru menjadi masalah internasional.
Mungkinkah bangsa ini tercerai-berai seperti Uni Soviet pasca perang dingin? Atau terus terjadi perang etnis yang tak pernah berkesudahan lantaran tak ada lagi saling percaya antara sesama anak bangsa? Ataukah pemerintahan di masa lalu salah dalam mengambil kebijakannya sehingga muncul perang saudara?

Terlepas dari mencuatnya sejumlah pertanyaan di atas, ada sisi lain yang cukup menarik untuk disimak dari pesantren paling megah Ma’had Al-Zaytun. Pesantren terletak di Desa Mekarjaya, Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Jabar, ini tak hanya menggembleng para santrinya dengan pendidikan moral. Ia bahkan menciptakan suasana harmonis, budaya toleransi serta mengembangkan budaya perdamaian antarsesama santri. Baik di asrama santri putra maupun di asrama santri putri yang jaraknya berjauhan, semua harus saling menghargai. Misalnya di asrama santri putra, para santri putra yang satu harus akrab dengan santri putra lainnya. Pun di tempat para santri putri itu menginap, sesama santri putri satu dengan lainnya harus saling menghargai.

Yang menarik, mereka – para santri itu - dalam sekamar terdiri dari berbagai suku di Indonesia. Dalam satu kamar yang terdiri dari sepuluh santri putri, misalnya, di dalamnya terdapat sepuluh santri dari sepuluh daerah. Antara lain, mereka dari Jawa, Sunda, Aceh, Batak, Madura, Palembang, Palangkaraya, Makassar, Irian dan daerah lainnya. Ada pula yang dicampur dengan santri dari Malaysia atau Brunai Darussalam.

“Sengaja mereka tidak sekamar dengan teman-teman sedaerahnya, supaya mereka bisa saling mengenal dan menghargai saudara-saudaranya yang dari daerah lain,” kata Syaykh al-Ma’had AS Panji Gumilang, ulama yang memprakarsai pembangunan Ma’had Al-Zaytun, di sela memandu para tamunya di asrama santri putri belum lama ini.

Cara sosialisasi yang dilakukan Ma’had Al-Zaytun agaknya tak salah. Sesuai moto pesantren ini, yakni “Ma’had Al-Zaytun Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi serta Pengembangan Budaya Perdamaian” maka para santrinya pun kelak bisa saling menghormati bahkan mencintai sesama saudaranya yang dari daerah lain. “Dengan cara ini, Ma’had Al-Zaytun mencoba mengindonesiakan anak bangsa,” kata salah seorang pengunjung pesantren termegah di Asia Tenggara ini.

Pesantren yang memiliki luas lahan 1.200 hektar – yang keseluruhannya merupakan tanah wakaf Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) – ini memiliki pemondokan para santri mirip kondominium berlantai lima, masing-masing 22.000 m2 atau 2,2 hektar. Di dalamnya terdapat 170 unit kamar tidur yang cukup luas, dan masing-masing kamar dihuni sepuluh orang santri. Dilengkapi pula tiga kamar mandi berikut tempat tidur beralas kasur, meja belajar dan rak buku bagi para santri. Semoga kelak mereka bisa saling mencintai sesamanya.
Blogged with the Flock Browser

0 comments:

Posting Komentar