Seperti kata pepatah : Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tiada kelihatan, maka jagalah diri kita dari sifat sombong, jauhkan diri kita dari takabur, merendahlah jangan meninggi, kalu tidak kita akan lebur dalam sifat ananiyah, tenggelam dalam lautan egois yang amat dalam, ke-aku-an kita akan membakar dan menghancurkan seluruh amal kita. Karena segala aspek dan elemen kehidupan berada dalam genggaman Tuhan, ingatlah diri kita tiada berarti secuilpun dihadapan Nya, demikian antara lain nasihat-nasihat yang disampaikan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani, ahli sufi terkenal lagi teruji.
Begitu juga nasihat-nasihat Imam Ghozali dalam Ihya Ulumuddin, penuh dengan pesan yang sangat santun, rendah diri jauh dari sifat sombong,sekalipun di dalam dadnya adalah lautan ilmu, namun beliau tidak pernah mengatakan dirinya sebagai ulama, tetap saja beliau bicara sebagai hamba Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan ilmunya, itulah golongan sesat yang nyata. Leburlah diri kita dalam ketulusan dan keikhlasan, berbuat dan berjuang semata-mata hanya karena Allah.
Dalam perjalanan ikhtiar pencerahan ini banyak sekali didapati tipuan fatamorgana, maka hati-hatilah, terutama kepada mereka yang berani dengan angkuhnya menyatakan dirinya sebagai ulama, dan membentuk wadahnya sendiri dengan menempelkan kata ulama, bahkan membuat keputusan sendiri dengan mengatasnamakan Fatwa Ulama.
Keulamaan seperti ini sangat diragukan keilmuan dan kewarakanya sebagai ulama, apalagi kerjanya hanya pandai mencaci dan memfitnah orang atau kaum yang tidak sepaham dengannya, meributkan perkara halal haram yang sudah jelas hukumnya, menjadi provokator yang menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat dengan dalil-dalil yang menghasut, yang ujung-ujungnya adalah mencoba menangguk di air keruh untuk kepentingan diri sendiri, dengan dalih untuk kepentingan ummat.
Masih percayakah kita terhadap orang-orang model seperti ini, yang menganggap orang sekelilingnya masih bodoh dan buta, lalu mengatasnamakan uamat dan syok jago sebagai pejuang ummat, padahal tidak terbukti secuilpun apa hasil yang diperjuangkannya untuk siapa dan ummat yang mana.
Apa yang telah mereka lakukan untuk ummat? Bukannya kenyamanan tetapi adalah keresahan. Apa yang telah mereka bangun dan kembangkan, bukannya pendidikan dan prasarananya tetapi mereka telah menebar rasa permusuhan di tengah-tengah masyarakat yang sangat memerlukan pembangunan fisik dan rohani agar bangkit kembali.
Ulama sebagai pemegang amanah Allah mestinya berada di garis terdepan mengimplementasikan fastabikul khoirat di tengah-tengah ummat bukan untuk merusak dan menghancurkan sendi-sendi yang telah dirintis komunal lainnya. Wawasan yang jauh ke depan tidak dibatasi oleh opsi-opsi pendek melainkan sanggup bergumul dalam lautan ilmu yang tiada batas, itulah yang diperlukan ummat masa kini sebagai bangsa yang ingin maju setaraf dengan bangsa-bangsa lain yang maju di dunia.
Kegagalan setiap kali melihat anak bulan serta ketidakmampuan memenej, adalah pertanda betapa rendahnya kinerja ummat Islam Indonesia. Jika demikian bagaimana untuk memimpin bangsa dan negara yang lebih besar?
Begitu juga nasihat-nasihat Imam Ghozali dalam Ihya Ulumuddin, penuh dengan pesan yang sangat santun, rendah diri jauh dari sifat sombong,sekalipun di dalam dadnya adalah lautan ilmu, namun beliau tidak pernah mengatakan dirinya sebagai ulama, tetap saja beliau bicara sebagai hamba Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan ilmunya, itulah golongan sesat yang nyata. Leburlah diri kita dalam ketulusan dan keikhlasan, berbuat dan berjuang semata-mata hanya karena Allah.
Dalam perjalanan ikhtiar pencerahan ini banyak sekali didapati tipuan fatamorgana, maka hati-hatilah, terutama kepada mereka yang berani dengan angkuhnya menyatakan dirinya sebagai ulama, dan membentuk wadahnya sendiri dengan menempelkan kata ulama, bahkan membuat keputusan sendiri dengan mengatasnamakan Fatwa Ulama.
Keulamaan seperti ini sangat diragukan keilmuan dan kewarakanya sebagai ulama, apalagi kerjanya hanya pandai mencaci dan memfitnah orang atau kaum yang tidak sepaham dengannya, meributkan perkara halal haram yang sudah jelas hukumnya, menjadi provokator yang menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat dengan dalil-dalil yang menghasut, yang ujung-ujungnya adalah mencoba menangguk di air keruh untuk kepentingan diri sendiri, dengan dalih untuk kepentingan ummat.
Masih percayakah kita terhadap orang-orang model seperti ini, yang menganggap orang sekelilingnya masih bodoh dan buta, lalu mengatasnamakan uamat dan syok jago sebagai pejuang ummat, padahal tidak terbukti secuilpun apa hasil yang diperjuangkannya untuk siapa dan ummat yang mana.
Apa yang telah mereka lakukan untuk ummat? Bukannya kenyamanan tetapi adalah keresahan. Apa yang telah mereka bangun dan kembangkan, bukannya pendidikan dan prasarananya tetapi mereka telah menebar rasa permusuhan di tengah-tengah masyarakat yang sangat memerlukan pembangunan fisik dan rohani agar bangkit kembali.
Ulama sebagai pemegang amanah Allah mestinya berada di garis terdepan mengimplementasikan fastabikul khoirat di tengah-tengah ummat bukan untuk merusak dan menghancurkan sendi-sendi yang telah dirintis komunal lainnya. Wawasan yang jauh ke depan tidak dibatasi oleh opsi-opsi pendek melainkan sanggup bergumul dalam lautan ilmu yang tiada batas, itulah yang diperlukan ummat masa kini sebagai bangsa yang ingin maju setaraf dengan bangsa-bangsa lain yang maju di dunia.
Kegagalan setiap kali melihat anak bulan serta ketidakmampuan memenej, adalah pertanda betapa rendahnya kinerja ummat Islam Indonesia. Jika demikian bagaimana untuk memimpin bangsa dan negara yang lebih besar?
0 comments:
Posting Komentar