Segera Bangkit |
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) atauyang sekarang disebut Uni Eropa (UE) adalah salah satu contoh bagaimanapengembangan kawasan bisa memberikan salah satu alternatif dikotominasionalisme negara. Terlepas dari krisis ekonomi AS tahun 2010 yangsekarang menjalar ke Eropa dimana Irlandia dan Yunani sempat dilandakrisis, tetap saja stabilitas UE relatif cukup baik.
Setelah padainisiasi awal hanya berdebat seputar penghapusan rivalitas lama Jermanvs Prancis di Eropa serta sebatas kerjasama industri baja dan batu baradi Traktat Paris, tahun 1952. Lalu berkembang ke pembentukan DewanMenteri UE di Kesepakatan Roma 1957 dan perluasan keanggotaan viaPerjanjian Schengen 1985 dimana sejumlah negara kemudian bergabungsepakat untuk menghapuskan pemeriksaan barang dan manusia diperbatasan. Selanjutnya mulai meluaskan kerjasama ke ranah politikseperti pembentukan Parlemen Eropa Sampai akhirnya melalui TraktatMaastricht 1992 UE resmi dibentuk sebagaimana yang kita saksikan kini.
Setelahawalnya hanya berkutat dalam hal ekonomi. UE kini menjelma menjadikekuatan politik, ekonomi dan sosial baru. Yang bahkan dalam banyak halmenyaingi kedigdayaan AS. Seperti sebut saja mata uang Euro yang nilaitukarnya bahkan melebih mata uang dunia (Dolar US), meskipun masihdibawah kurs Poundsterling (UK). Maka proyek dan politik Eropanisasi(Featherstone & Radaelli, 2003), konsep dari government kegovernance (Borras, 2003) dan paham regionalisme ini semakin menjadisalah satu model unifikasi dalam tatanan dunia baru paska perang dinginsejak runtuhnya Uni Soviet dan AS diklaim menjadi polisi dunia (selaintentunya China, Iran dan Blok Amerika Latin).
Konsep seperti EUini juga sejatinya sudah coba dimulai di kawasan lain seperti ASEAN dikawasan Asia Tenggara yang berdiri sejak 1967 di Bangkok yangmelahirkan AFTA (perdagangan bebas). Kemudian juga dengan negara-negaraAsia Pasifik (APEC) tahun 1989 dan Uni Afrika tahun 2002 . Namunkelihatannya apa yang dicapai EU sampai sekarang masih belum bisadisaingi oleh yang lain. Bahkan sejumlah negara di sekitar Eropa sangatbernafsu menjadi anggota EU, seperti Turki, negara bekas Yugoslaviaserta Uni Soviet. Oleh karena itu menjadi penting melihat adanyakemungkinan penyatuan sejumlah negara dalam format seperti EU, meskipuntidak harus persis.
Dalam konteks itu, maka Revolusi Boauzizi diTunis, Revolusi 25 Jan 2011 di Mesir, yang kemudian merebak ke seanteroAfrika Utara, dunia Arab seperti di Suriah, Yaman dan terakhir Libyaplus bergeliatnya kembali keberanian Palestina sebenarnya membukapeluang terjadi perubahan tata dunia baru. Revolusi ternyata terusmenyebar layaknya virus ke negara sekitarnya di kawasan Maghribi danTimur Tengah.
Mereka memilik karakteristik pemerintahan yang sama:otokrasi, otoriter dan secara ekonomi – politik menjadi sekutu bagikepentingan AS, Israel dan mungkin negara Barat pada umumnya. Namundalam hitungan waktu peta ini bisa saja berubah. Mesir yang menjadinegara yang paling strategis baik secara geografis (letaknya persis dipersimpangan Afrika Utara, Timur Tengah dan Eropa (Laut Tengah) bisamemainkan peranan penting jika proses transisi paska revolusi berjalanbaik.
Perubahan arah dan model kebijakan sangat akan mungkin terjadi.Apalagi sebagai salah satu negara paling berpengaruh di dunia Muslim.Bersama Turki, yang sampai sekarang belum berhasil mendapat izinbergabung dengan UE karena berbagai kekhawatiran dan phobi terhadappemerintahan pro Islam di Turki sekarang, plus bisa jadi Iran, akanmenjadi kekuatan baru di kawasan tersebut. Michael Foucault sendirimelihat bagaimana revolusi Islam Iran membawa kebangkitan spiritualitaspolitik (political spirituality) setelah bertemu langsung dengan AliShariati dan Ayatullah Khomeini di tahun 1979.
Disinilah makanya konsepUni Islam menjadi relevan. Rakyat Mesir sendiri, sebagaimana yangdiberitakan Al Jazeera (5 Februari 2011), mengakui bahwa modeldemokrasi dan pertumbuhan ekonomi Turki (dan Malaysia) adalah bentukideal yang diinginkan mereka. Sebenarnya ide Uni Islam ini substansinyasudah lama ada dalam Islam. Dr Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqh Daulah(1998) berpendapat bahwa substansi nilai-nilai demokrasi yang positifbisa selaras dengan semangat Islam untuk memberikan pelayanan terbaikbuat ummat.
Dan konsep ini memang harus dimulai dari membentukkepribadian (syakhsyiyah), keluarga (usrah), lingkungan sekitar (biah),masyarakat (sya’biah), negara (daulah) dan dunia (khilafah). Proseslevelisasi (marhalah) ini harus diperhatikan, agar tidak terjadilompatan-lompatan yang bisa melemahkan konsolidasi internal dalamberhadapan dengan dinamika aktual di lapangan.
Masalahnya adalah,kita sendiri masih minder dengan ide Uni Islam. Atau katakanlah aprioriakibat kampanye propaganda intens bahwa Islam, daulah dan khilafah ituidentik dengan ciri negatif seperti tidak adanya kebebasan beragama,diabaikannya hak asasi manusi, emansipasi, terorisme, ketinggalan zamandan segala macam bentuk prasangka lainnya. Padahal disisi lain, konsepUE sudah dengan jelas membuktikan bahwa substansi nilai-nilai unifikasiitu memang punya dampak positif bagi kesejahteraan umat. Evaluasikolektif dan proses saling subsidi (taawun) membuat UE menjadi lebihkuat dan stabil, meskipun didera banyak masalah. Jadi ketika idetersebut serasa tabu di umat Islam (atau sengaja dibuat menjadi tabuakibat hegemoni media), ia malah dipraktekkan di Barat.
Makanya ide UniIslam (khilafah) sebenarnya perlu dijelaskan kepada mereka yang tidaksetuju bahwa ini pada prinsipnya sama dengan apa yang dilakukan EU atauAPEC sekarang. Dan karena itu tidak perlu dikhawatirkan berlebihan.
Barangkalikendalanya adalah selain memperkuat konsolidasi internal antar negaramuslim, khususnya sebagai awal di Afrika Utara dan Timur Tengah, makakendala geografi bisa menjadi salah satu titik lemah, karena wilayahjurisdiksi operasionalnya yang cukup luas termasuk sebagian negara diAfrika Tengah/Timur/Barat, Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Selain itu kendala lain ialah apakah kumpulan negara ini nantinya akanmenjadi sebuah ‘negara’ baru secara de facto dan de jure atau tidak?Namun kita tidak perlu inferior dengan ide Uni Islam, toh APEC yangjumlah anggotanya banyak dan mencakup wilayah jangkauan cukup luas(dari Australia sampai AS) bisa eksis, mengapa kita tidak bisa sedikitpercaya diri dan optimis?.
Lagipun kita tidak hanya didasarkan padaunifikasi ekonomi dan geografi, tapi juga kesamaan akidah. Sebagailangkah awal, kerjasama yang dibangun barangkali cukup di bidangekonomi dan perdagangan, lalu perlahan diperluas ke sektor keamanan,politik dan budaya. Mulai dari diberlakukannya ‘fair trade’ bukan‘freetrade’ sesama negara anggota, pembentukan parlemen Uni Islam dan sistemkepemimpinan presidium bagi negara yang dianggap mampu dan dipilihsecara periodik menjadi pimpinan.
Semoga saja tawaran ini bisa menjadibahan pemikiran bagi kita sebagai salah satu saudara muslim dinusantara. Karena kita masih merindukan Uni Islam bersanding dengan UniEropa, Uni Afrika, APEC dan ASEAN dan berlomba-lomba memberikan yangterbaik bagi peradaban manusia. Ide ini bukanlah plagiasi atau meniru,tapi sesungguhnya sudah ada dalam islam, namun sayang saudara kita yangnon-muslimlah yang sudah lebih dulu menyaksikan keajaibannya. (usb/jrm)
0 comments:
Posting Komentar